Creative Writing

Tentang Fiksi Narasi

Oleh Sides Sudyarto DS

Fiksi (Fiction) menurut The Grolier International Dictionary berarti:
A literary work whose content is produced by the imagination and is not necessarily base on fact.
The category of literature comprising works of this kind, including novels, short stories, and plays.

Fiksi (Fiction) menurt Kamus Inggris – Indonesia, John M. Echols:
Cerira rekaan

Narrative Fiction

Slomith Rimmon -Kenan dalam bukunya Narrative Fiction, yang membahas sastra dengan titik pusat fiksi, selalu menggandengkan kata fiction dengan kata narrative: narrative fiction.

Dalam wacana kesastraan, penggandengan dua kata yang dilakukan Rimmon-Kenan itu sangat tepat. Sebab selama ini orang hanya mengatakan kata fiksi saja. Padahal, tidak semua fiksi itu terkait dan berarti jenis karya sastra. Di lain pihak, kata narrative (narasi) juga tidak selalu terkait dengan sastra. Narration (cerita) tidak selalu terkait dengan sastra. Sebab memang banyak cerita, kisah yang tidak tergolong karya sastra.

Lalu apa yang dimaksud narrative fiction menurut Slomith Rimmon-Kenan itu? Ia bilang, By narrative fiction I mean the narration of a succession of fictional events.

Terkait dengan narration itu adalah unsur-unsur:
Communication Process
Proses komunikasi dalam mana narasi sebagai massage (pesan) ditransmisikan oleh adresser (penuju) kepada addresee (tertuju).
Verbal Nature.
Sifat verbal dari medium untuk mentransmisikan pesan tersebut.

Tentang Fictional Events

Karya sastra yang berbentuk fiksi naratif berceritra tentang kejadian-kejadian (events) dan bukan satu kejadian (event). Walaupun sama-sama diceritakan, tetapi harusd ibeadakan antara fiksi naratif dengan cerita-cerita yang tergolong verbal, seperti: gosip, testimoni legal, laporan berita, buku sejarah, otobiografi, surat pribadi, dsb.

Tentang Fictional

Fiksi berisikan rangkaian kejadian-kejadian (peristiwa-peristiwa). Tentu saja yang dimaksudkan adalah kejadian-kejadian fiksional.
Seringkali kita mendengar pertanyaan, apakah mungkin mencampurkan yang fiksional dengan kejadian yang benar-benar terjadi? Mungkin saja, bahkan sering terjadi dalam proses kreativitas banyak pengarang. Tentu saja, apakah itu fakta, realitas, yang diserap dalam karya sastra (fiksi) harus diperlakukan sebagai fiksi dan hal ini bisa disebut fiksionalisasi fakta (realitas).

Unsur Pelaku

Dalam fiksi naratif, selain ada kejadian juga ada unsur pelaku. Karena pelaku lebih dari satu orang, maka setiap orang perlu diberi tanda dan itulah nama. Nama untuk pelaku tidak terelakkan. Tidak bisa dihindari. Jika penulis menghindari pemberian nama karena alasan tertentu, maka ia terpaksa menjelaskan siapa pelaku itu dengan ciri tertentu: Misalnya Si Gendut, Si Jangkung, Si Kacamata. Maka akhirnya itu pun jadI nama bagi pelaku yang bersangkutan.

Risiko penolakan penggunaan nama juga harus diperhitungkan. Risiko yang pertama adalah, penulis harus terus-menerus jadi narator. Maka apa yang terjadi ialah, bahwa seolah-olah penulis (pengarang) berbicara langsung dengan pembaca. Bisa-bisa kesan bahwa pembaca sedang membaca karya fiksi hilang, tergantikan oleh kesan bahwa ia sedang mendengar dongeng langsung dari penulis (narator).

Risiko kedua, dialog-dialog verbal yang harus diucapkan oleh para pelaku dalam fiksi naratif juga harusd isampaikan oleh narator, yang pada kasus tertentu bisa menimbulkan dampak negatif, seperti kesan menggurui, kotbah dlsb.

Struktur

Karya sastra, apakah itu novel, novela, atau cerpen pasti mempunyai struktur. Seperti halnya bangunan rumah, ada yang berarsitektur indah, sedang dan ada pula yang biasa-biasa saja. Dalam karya sastra, masalah struktur (rancang bangun, rancang bentuk) adalah satu keniscayaan. Makin tinggi kesadaran akan struktur karya fiksi narasi, makin tinggi tingkatan estetikanya.

Di mata kaum Formalis Rusia, dalam struktur itu antara lain terdapat alur dan cerita. Kedua masalah itu mereka pandang penting sekali. Menurut kaum Formalis Rusia, alur itulah yang sungguh-sungguh bersifat kesusasteraan. Di lain pihak, cerita hanyalah bahan mentah yang masih menanti pengolahan tangan penulis (Raman Selden, 8, 1991). Sastrawan Indonesia kebanyakan belum sadar struktur. Novelis yang sadar struktur hanya Pramudya Ananta Toer, terutama dalam karyanya, Bumi Manusia, sebagai bagian dari karya empat serangkainya (tetralogi), dan Iwan Simatupang, terutama karyanya Merahnya Merah dan Ziarah.

Penulis-penulis seperti Umar Kayam (Para Priyayi), Mangunwijaya (Burung Burung Manyar), menampakan diri sebagai sosok yang belum kenal dengan struktur dengan fungsi dan kekuatannya dalam fiksi narasi. Mereka baru dalam tingkatan menutur kan cerita, tetapi belum sampai menciptakan alur literer.

Bahasa

Proses komunikasi yang disinggung Rimmon-Kenan, pastilah berkaitan langsung dengan bahasa, sebab tidak ada komunikasi di luar bahasa. Karya fiksi narasi, agar bisa berkomunikasi tidak bisa tidak, harus melalui medium bahasa tertentu.

Satu karya fiksi narasi, sebuah novel, misalnya, adalah sebuah teks. Teks itu ditulis dalam bahasa tertentu. Maka sebuah novel berbahasa Prancis bagi yang tidak kenal bahasa Prancis, bukanlah apa-apa, tidak lebih dari gundukan kertas tanpa arti.

Fiksi narasi, juga tidak bisa berada di luar bahasa. Sayangnya, masih terlalu banyak penulis yang memandang bahasa hanya sebagai mdium belaka, tanpa menyadari bahwa bahasa itu sendiri adalah bagian integral yang menentukan kadar esettika setiap karya. Kita mungkin perlu membandingkan gaya bahasa satu pengarang dengan pengarang lainnya.

Misalnya antara bahasa sastra Pramudya Ananta Toer denga Iwan Simatupang. Gaya bahasa Pram lugas, komunikatif dan konventional. Gaya bahasa Iwan Simatupang liris, puitis dan sering filosofis, sehingga menuntut daya penafsiran yang tinggi dari pembacanya. Untuk membaca, memahami dan menikmati karya Pram, sekadar tidak buta huruf pun orang sudah mampu meangkap makna teks yang dihadapinya.

Pram, menurut berita, sudah dinominasikan untuk mendapatkan Hadiah Nobel, tetapi sampai sekarang ia belum mndapatkannya. Saya mengira ia tidak akan mendapatkan Hadiah Nobel, karena kreativitas dalam bahasa novelnya, tudaklah tampak. Kita bandingkan, gaya bahasa Pram dengan Gabriel Garcia Marquez yang sudah meraih Hadiah Nobel.

Bahasa Pram biasa saja, tidak menunjukkan semangat kreatif inovatif. Di lain pihak gaya bahasa Marquez begitu memukau, meski dengan baris-baris kalimat yang panjang, bahkan panjang sekali, namun karena kekuatan kreativitas dan estetika yang tergarap dengan canggih, maka ia mencapai keunggulan estetika bahasa yang tinggi.

Hingga sekarang ini, kebanyakan, atau pada umumnya, penulis-penulis fiksi narasi kita masih mengabaikan masalah babahasa, sehingga karya-karya mereka memiliki kelemahan yang signifikan. Para penulis seperti Budidarma, Putuwijaya, Ali Akbar Navis, Ramadhan KH, Ajip Rosidi, terjebak dalam kemandegan bahasa.

Mungkin hal itu dikarenakan mereka hanya mengandalkan bakat alam yang berada dalam dirinya masing-masing. Para pengarang terkemuka kaliber dunia umumnya berpendapat bahwa untuk menjadi penulis yang berhasil, bakat hanya 2% dan 98% persen adalah kerja keras.

Penulis-penulis terkemuka di Amerika Serikat, khususnya penulis yang kini tergolong sebagai sastrawan postmodernist, selain studi sastra juga mementingkan studi penulisan kreatif (creative writing).

Gagasan

Untuk menulis karya fiksi narasi diperlukan ide (gagasan). Tidak ada satu karya fisi narasi tanpa gagasan. Gagasan adalah esensi dari nilai-nilai yang hendak ditawarkan penulis kepada pembaca. Makin rajin menulis, seseorang makin mudah mendapatkan ide untuk karya-karyanya. Supaya sumber ide tidak kunjung habis, penulis juga perlu menimba ide-ide dari literatur yang luas. Rajin menulis tanpa rajin membaca, bisa menghasilkan karya yang tidak lebih dari isi keranjang sampah.

Karenma itu, sebaiknya sebelum mulai menulis patok dulu dalam catatan, ide atau gagasan apa yang akan kita tulis. Apakah ada nilainya untu umum (publik) yang merupakan pembaca (reader), apakah nilai itu sudah usang atau belum, terlalu remeh atau penting buat masyarakat, laku atau tidak laku sebagai karya seni?

Setelah Anda selesai menulis, tariklah kesimpulan, apakah karya itu sesuai dengan gagasan awal yang telah kita pilih? Dari situ Anda akan menyadari bahwa Anda berkarya untuk diri sendiri, ataukah untuk masyarakat sastra kapan saja dan di mana saja.

Literatur
1. Slomith Rimmon-Kenan, Narrative Ficition, Routlege, London & New York, 2001
2. Raman Selden, Teori Sastra Masa Kini, Gajah Mada University Press, 1991
3. Ann Jefferson & David Robey (Ed), Modern Literary Theory, Barnes & Noble Books, New Jersey, 1986
4. Victor Taylor and Charles E. Winquist (Ed), Encyclopedia of Postmodernism, Routledge, London & New York, 2004
5. Jonathan Culler, Structuralist Poetic, Routledge, London & New York, 2002.

Tags

Related Articles

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Pendampingan Menulis Buku